Selasa, 21 Juli 2015

PEMERIKSAAN TELUR CACING PARASIT PADA FESES (METODE APUNG DENGAN DAN TANPA DISENTRIFUGASI SERTA METODE MODIFIKASI HARADA MORI)



LAPORAN PRAKTIKUM
MATA KULIAH PARASITOLOGI








Disusun oleh :
Anis Fauziyah
G1B014004






KEMENTERIAN RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO

2015
 



A.   PENDAHULUAN
1.     Latar Belakang
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi manusia. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik (Kadarsan,2005).
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia. Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil Transmitted Helminthiasis).
Penyakit kecacingan masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Infeksi cacing dapat ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi tertinggi ditemukan pada anak balita dan usia SD. Dari penelitian didapatkan prevalensi penyakit cacingan sebesar 60–70%. Penelitian di beberapa kota besar di Indonesia menunjukkan, kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar 25–35% dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) 65–75%. Risiko tertinggi terutama kelompok anak yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka dan sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, dan bermain - main di tanah yang tercemar telur cacing tanpa alas kaki (Rusmanto, 2012).
Dalam identifikasi infeksi penyakit cacing perlu adanya pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja (Kadarsan,2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan. Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan. Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada, 2000).
2.     Tujuan
                     Tujuan dari praktikum ini adalah sebagai berikut:
a.      Mengetahui pemeriksaan feses dengan metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) serta metode modifikasi Harada Mori
b.     Mengetahi adanya telur dan larva cacing parasit dalam sempel feses
c.      Mendiagnosa infeksi cacing parasit dalam tubuh orang yang diperiksa fesesnya





B.       METODE
1.        Metode Pemeriksaan
Metode pemeriksaan feses pada praktikum ini adalah dengan menggunakan dua metode, yaitu metode apung baik secara disentrifugal maupun tanpa disentrifugal dan metode harada mori.
2.     Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan tinja menggunakan metode apung dengan disentrifugasi adalah:
a.      Mikroskop
b.     Objek glass
c.      Cover glass
d.     Beker glass
e.      Lidi
f.      Penyaring teh
g.     Jarum ose
h.     Tabung disentrifugasi
i.       Sentrifugator
j.       10 gram tinja
k.     200 ml larutan NaCl jenuh (33%)
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan tinja menggunakan metode apung tanpa disentrifugasi adalah:
a.      Mikroskop
b.     Objek glass
c.      Cover glass
d.     Beker glass
e.      Tabung reaksi
f.      Rak tabung reaksi
g.     Lidi
h.     Penyaring teh
i.       Jarum ose
j.       10 gram tinja
k.     200 ml larutan NaCl jenuh (33%)
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan tinja menggunakan metode Harada Mori adalah:
a.      Kantung plastic ukuran 30x200 mm
b.     Kertas saring ukuran 3x15 cm
c.      Lidi
d.     Pipet ukur dan filler
e.      Pipet tetes
f.      Aquadest
g.     Penjepit dan tempat menggantung plastik
h.     Label
3.     Cara Kerja
a.      Metode apung dengan disentrifugasi
1)     200 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan ke dalam beker glass
2)     10 gram feses sampel diambil menggunakan lidi dan dimasukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian diaduk sampai larut
3)     Feses yang sudah larut kemudian disaring menggunakan penyaring teh
4)     Larutan yang sudah disaring kemudian dituangkan ke dalam tabung disentrifugasi sebanyak ¾ bagian dan dimasukan ke sentrifugator selama 5 menit
5)     Permukaan sampel pada tabung sentrifugasi diambil dengan menggunakan jarum ose dan di oleskan pada objek glass, kemudian di tutup dengan menggunakan cover glass.
6)     Diamati dibawah mikroskop
b.     Metode apung tanpa disentrifugasi
1)     200 ml NaCl jenuh(33%) dimasukkan ke dalam beker glass
2)     10 gram feses sampel diambil menggunakan lidi dan dimasukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian diaduk sampai larut
3)     Feses yang sudah larut kemudian disaring menggunakan penyaring teh
4)     Hasil saringan dituangkan ke dalam tabung reaksi sampai cembung pada bagian permukaan tabung reaksi
5)     Diamkan selama 5-10 menit kemudian ditutup dengan cover glass dan segera diangkat
6)     Cover glass diletakan diatas objek glass dengan cairan berada diantara objek glass dan cover glass
7)     Diamati di bawah mikroskop
c.      Metode Harada Mori
1)     Kantung plastik diisi aquades sebanyak 5ml dengan menggunakan pipet ukur dan filler
2)     Dengan menggunakan lidi feses dioleskan pada kertas saringan sampai mengisi sepertiga bagian tengahnya
3)     Kertas saringan dilipat membujur, kemudian kertaas saring di masukan ke dalam kantung plastik yang sudah berisi aquades dengan posisi ujung kertas menyentuh permukaan aquades dan tinja sampai tercelup aquades
4)     Nama penderita, tanggal penamaan, dan kelompok pengamat ditulis kemudian ditempel di plastik
5)     Plastik digantung dan disimpan selama 7 hari
6)     Setelah 7 hari digantung,  plastik dimiringkan dan  digunting ujungnya kemudian air dalam plastik di tuang ke beaker glass
7)     Air dalam beaker glass diambil menggunakan pipet tetes kemudian 1-3 tetes air diteteskan ke atas objek glass
8)     Cover glass diletakkan di atas objek glass
9)     Diamati di bawah mikroskop




C.   HASIL
1.     Metode Apung
Pemeriksaan sampel feses dari anak kelas 3 SD Negeri 2 Karangwangkal, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertertera di bawah ini:
nama               : Farah Nurahma
umur               : 9 tahun
alamat                         : Karangwangkal RT 2 RW 2
Tabel 1
Metode
Hasil Pengamatan
Nama Cacing
Telur (+/-)
Cacing
(+/-)
Apung dengan sentrifugasi
Ascaris lumbricoides
-
-
Trichuris trichiura
-
-
Cacing tambang
-
-
Strongyloides stercoralis
-
-
Apung tanpa sentrifugasi
Ascaris lumbricoides
-
-
Trichuris trichiura
-
-
Cacing tambang
-
+
Strongyloides stercoralis
-
-

Gambar
Pengamatan

Gambar 1.1
Hasil negative pada pemeriksaan dengan menggunakan metode apung dengan sentrifugasi

Gambar 1.2
Hasil positif dengan metode apung tanpa sentrifugasi yang diduga merupakan cacing tambang.
Dari percobaan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode apung seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan tidak ditemukan telur cacing seperti Ascaris lumbricoides, Trichuris trichiura, Cacing tambang, dan Strongyloides stercoralis. Namun hasil pemeriksaan ditemukan cacing tambang yang diduga dari spesies Necator americanus, karena dilihat dari bursa kopulatriks dimana tiga rusuk lateral pada cacing jantan yang 2 buah saling berdekatan dan yang satu terpisah.
2.     Metode Harada Mori
Pemeriksaan sampel feses dari anak kelas 3 SD Negeri 2 Karangwangkal, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertertera di bawah ini:
nama               : Farah Nurahma
umur               : 9 tahun
alamat                         : Karangwangkal RT 2 RW 2
Tabel 2
Metode
Hasil Pengamatan
Nama Cacing
Larva
(+/-)
Harada Mori
Trichuris trichiura
-
Cacing tambang
-
Strongyloides stercoralis
-

Gambar
Pengamatan

Gambar 2.1
Hasil pemeriksaan menunjukan negatif dengan metode harada mori. Tidak ditemukan larva baik itu rabdhitiform maupun filariform.
Dari percobaan yang telah dilakukan dengan menggunakan metode harada mori seperti pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan tidak ditemukan larva cacing seperti Trichuris trichiura, Cacing tambang, dan Strongyloides stercoralis.







D.   PEMBAHASAN
Metode yang digunakan dalam pemeriksaan tinja adalah metode apung dan metode harada mori. Prinsip kerja metode apung berdasarkan berat jenis telur-telur yang lebih ringan daripada berat jenis larutan yang digunakan sehingga telur terapung dipermukaan, dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja. Pemeriksaan metode apung menggunakan larutan garam jenuh direkomendasikan untuk pendeteksian telur Ancylostoma duodenale dan Necator americanus (metode terbaik), Ascaris lumbricoides, Hymenolepis nana, Taenia spp., dan Trichuris trichiura.Metode apung tidak sesuai digunakan untuk mendeteksi trematoda dan Schistosoma spp (Maharani, 2011).
Metode harada mori adalah uji yang digunakan untuk mendeteksi infeksi cacing tambang, Strongyloides stercoralis, Trichostrongylus spp. Prinsip kerja metode harada mori adalah dengan mengoleskan feses pada sepertiga bagian dalam kertas saringan kemudian dimasukkan kedalam tabung kerucut sentrifugal yang berisi air sampai menyentuh ujung kertas saringan. Tabung kerucut sentrifugal disimpan pada suhu kamar selama waktu perkembangan larva dan jatuh dalam air pada 7 sampai 10 hari (Paniker, 2013).
Kelebihan metode apung dengan sentrifugasi adalah dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat, kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya proses sentrifugasi sehingga dapat terlihat jelas. Sedangkan kekurangan metode apung dengan sentrifugasi adalah membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
Kelebihan metode apung tanpa sentrifugasi adalah dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat, telur dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan kekurangan metode apung tanpa sentrifugasi adalah menggunakan banyak feses, membutuhkan waktu yang lama, dan membutuhkaan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
Kelebihan metode harada mori adalah memiliki sifat sensitive, sederhana, ekonomis, dan mudah dalam melakukannya (shahid, 2010). Sedangkan kekurangannya adalah  larva yang hidup dapat menyebabkan pathogen, larva dapat menyebabkan infeksi sehingga harus dilakukan dengan hati-hati (Sehgal, 2003).
Pada pemeriksaan feses ini, kemungkinan yang dapat ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides, telur Trichiuris trichiura, telur cacing tambang, dan larva rhabditiform Strongyloides stercoralis serta dapat juga ditemukan cacing dewasa.
Ascaris lumbricoides memiliki empat bentuk telur, yaitu tipe dibuahi (fertilized), tidak dibuahi (afertilized), matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi besarnya 60 x 45 mikron, dinding tebal terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel telur. Telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang daripada tipe yang dibuahi, besarnya 90 x 40 mikron, dan dinding luarnya lebih tipis. Isi telur adalah massa granula refraktil. Telur matang berisi larva (embrio), tipe ini menjadi infelatif setelah berada di tanah kurang lebih 3 minggu. Telur yang dekortikasi tidak dibuahi tetapi lapisan luarnya (albuminoid) sudah hilang (Onggowaluyo, 2002). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah, sehingga Farah dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Ascaris lumbricoides.
Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 µ, berbentuk mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2 kutub jernih yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah, sehingga Farah dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Trichuris trichiura.
Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur cacing tambang berbentuk lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 µ. Telur tidak berwarna dan berdinding tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah, sehingga Farah dinyatakan tidak terinfeksi  parasit cacing tambang.
Cacing dewasa cacing tambang berbentuk silindris. Ukuran cacing betina 9-13 mm dan cacing jantan 5-10 mm. bentuk Necator americanus seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale seperti huruf C. rongga mulut kedua spesies cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator americanus mulut dilengkapi gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip. Kedua cacing ini, yang jantan ujung ekornya mempunyai bursa kopulatriks, sedangkan yang betina ujung ekornya lurus lancip. Kedua spesies cacing dewasa ini secara morfologis mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh, rongga mulut, dan bursa kopulatriksnya) (Onggowaluyo, 2002). Necator americanus  memiliki tiga rusuk lateral pada bursa cacing jantan yang 2 buah saling berdekatan dan satu terpisah. Ancylostoma duodenale memiliki tiga rusuk lateral pada bursa cacing jantan saling terpisah satu sama lain (Poernomo, 2005). Ciri cacing dewasa yang disebutkan diatas terdapat pada pengamatan feses Farah, yaitu spesies Necator americanus karena memiliki tiga rusuk lateral pada bursa cacing jantan dimana 2 buah saling berdekatan dan satu terpisah. Sehingga Farah dinyatakan terinfeksi parasit cacing tambang.
Dilihat dari table hasil pemeriksaan feses Farah menggunakan metode apung dengan sentrifugasi tidak ditemukan telur, dan cacing dewasa, hasilnya adalah negative, namun pada pemeriksaan metode apung tanpa sentrifugasi ditemukan cacing dewasa. Diduga cacing yang ditemukan merupakan cacing tambang spesies Necator americanus. Dilihat dari bursa kopulatriks dimana tiga rusuk lateral pada cacing jantan yang 2 buah saling berdekatan dan yang satu terpisah. Terjadi perbedaan hasil antara metode apung dengan menggunakan sentrifugasi dan tanpa sentrifugasi. Perbedaan terjadi karena pemeriksaan metode apung dengan sentrifugasi, ketika melakukan ulasan pada objek glass menggunakan jarum ose, kemungkinan telur atau cacing dewasa tidak melekat pada jarum ose kemudian ketika di ulaskan pada objek glass dan diamati menggunakan mikroskop tidak ditemukan telur atau cacinf dewasa. Sedangkan pada metode apung tanpa sentrifugasi kemungkinan telur atau cacing dewasa menempel pada objek glas lebih besar. Karena metode apung tanpa sentrifugasi menggunakan tabung reaksi kemudian diisi sampai cembung permukaannya. Sehingga kemungkinan telur dan cacing dewasa ditemukan lebih besar.
Berdasarkan kuesioner yang telah dipertanyakan dapat diketahui responden dalam kegiatan seharinya tidak memakai alas kaki saat bermain diluar rumah, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, tidak menyukai sayuran, tidak mencuci tangan setelah buang air besar, tidak rutin dalam minum obat cacing, tidak membersihkan diri setelah selesai bermain, tidak mengambil makanan yang sudah jatuh, senang bermain tanah, dan merasa gatal di daerah dubur. Sedangkan fasilitas yang dimiliki responden antara lain memiliki WC di rumah, tidak terdapat hewan ternak, tersedia sabun cuci tangan, lantai terbuat dari keramik, dan tersedia air bersih.
Kesimpulan yang diambil dengan mempertimbangkan kuesioner bahwa Farah positif terinfeksi penyakit cacing. Metode apung tanpa sentrifugasi menemukan cacing tambang yang diduga Necator americanus karena kebiasaan responden yang tidak memakai alas kaki saat bermain di luar rumah, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, suka bermain tanah, dan tidak membersihkan diri setelah bermain. Meskipun pada metode harada mori tidak ditemukan larva cacing tambang. Hal ini dapat disebabkan oleh banyak factor, salah satunya adalah pada metode harada mori pengolesan feses pada kertas saringan terlalu jauh, atau kertas saringan yang tidak menempel pada air, sehingga larva mati. Infeksi cacing Necator americanus dapat terjadi bila larva filariform menembus kulit (Sutanto, 2008).
Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x 30 µ, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi larva rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva rhabditiform mempunyai ukuran 200 – 250µ, memiliki esophagus dan bulbus esophagus yang mengisi ¼ bagian anterior (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah, sehingga Farah dinyatakan tidak terinfeksi  parasit Strongyloides stercoralis.
 Dilihat dari tabel hasil 2 di atas, pemeriksaan feses Farah menggunakan metode Harada Mori tidak ditemukan larva parasit dalam  praktikum ini. Berarti, Farah diduga tidak terinfeksi parasit cacing tambang.
Hasil negative  pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat disebabkan oleh kesalahan dalam melakukan cara kerja, diduga kertas saringan tidak menempel pada air sehingga larva tidak turun dan tidak dapat ditemukan menggunakan mikroskop.
Harada Mori merupakan metode yang paling efektif untuk mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode Harada Mori memiliki ketelitian lebih dibandingkan dengan metode pemeriksaan tinja yang lain dalam mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif, sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan (Shahid, 2010).
Manusia merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang. Telur cacing tambang spesies Necator americanus dan Ancylostoma duodenale sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit dalam hal ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 µ, sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 µ. Telur ini keluar bersama feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform berubah menjadi  larva filariform (Shahid, 2010).
Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk manusia. Larva ini  berukuran 500 – 700 µ, tidak mempunyai rongga mulut dan bulbus esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah dengan metode harada mori sehingga Farah diduga tidakterinfeksi  parasit cacing tambang.








E.    KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat di simpulkan sebagai berikut:
1.     Prinsip kerja metode apung dengan dan tanpa sentrifugasi adalah dengan menggunakan berat jenis telur. Dimana larutan jenuh memiliki berat jenis yang lebih tinggi sehingga menyebabkan telur cacing terapung
2.     Prinsip kerja metode harada mori adalah dengan menggunakan kertas saringan yang dimasukan kedalam aquades dengan kurun waktu 7 sampai 10 hari
3.     Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung dengan disentrifugasi adalah negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi cacing
4.     Hasil yang didapat dari pemeriksaan metotode apung tanpa disentrifugasi adalah positif, yang artinya ditemukan cacing dewasa dalam feses yang telah diperiksa, sehingga diduga pasien terinfeksi cacing
5.     Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode Harada mori adalah negative, yang artinya bahwa tidak ditemukan  larva dalam  tinja yang telah di periksa sehingga pasien diduga tidak terinfeksi cacing tambang
6.     Farah siswi kelas III SD N 2 Karangwangkal didiagnosis terinfeksi cacing tambang, meskipun pada pemeriksaan harada mori tidak ditemukan larva yang dapat disebabkan karena mengoles tinja yang terlalu jauh sehingga menyebabkan larva mati. Kuesioner yang di tanyakan kepada responden menyatakan kemungkinan positif terinfeksi penyakit kecacingan sangat besar.







DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada, S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas Kedokteran UI.
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor: Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Maharani, Anggitha Putri, Liena Sofiana. 2011. Validitas Metode Apung Pemeriksaan Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar. Journal.
Onggowaluyo, Jangkung Samidjo. 2002. Parasitologi Medik I Helmintologi Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik. Jakarta: Penerbit Buku EGC.
Paniker, CK Jayaram, Sougata Ghosh. 2013. Paniker’s Textbookof Medical Parasitology. Nepal: Jaypee Brother Medical Publishers.
Poernomo, J Gunawan, Magdalena, dkk. 2005. Atlas Helmintologi Kedokteran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rusmanto, Dwi, J Mukono. 2012. Hubungan Personal Higyene Siswa Sekolah Dasar dengan Kejadian Kecacingan. The Indonesian Journal of Publick Health. Vol. 8: 105-111.
Sehgal, Rakesh. 2003. Practicals and Viva in Medical Parasitology. New Delhi: Elsevier.
Sutanto, Inge, Is Suhariah, Pudji K sjarifudin, saleha sungkar. 2008. Parasitologi Kedokteran Edisi Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Shahid, SB, Wazib A, Chowdhury A, Shamsuzzaman SM, Mamun KZ. 2010. Identification of Hookworm Species in Stool By Harada Mori Culture. Bangladesh Jurnal Medica Microbiologists. Vol. 4: 3-4.
Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.







2 komentar: