LAPORAN PRAKTIKUM
MATA KULIAH PARASITOLOGI
MATA KULIAH PARASITOLOGI
Disusun
oleh :
Anis
Fauziyah
G1B014004
KEMENTERIAN
RISET TEKNOLOGI DAN PERGURUAN TINGGI
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS
ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KESEHATAN MASYARAKAT
PURWOKERTO
2015
A.
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Cacing merupakan salah satu parasit yang menghinggapi
manusia. Penyakit infeksi yang disebabkan oleh cacing masih tetap ada dan masih
tinggi prevalensinya, terutama di daerah yang beriklim tropis seperti
Indonesia. Hal ini merupakan masalah kesehatan masyarakat yang masih perlu
ditangani. Penyakit infeksi yang disebabkan cacing itu dapat di karenakan di
daerah tropis khususnya Indonesia berada dalam posisi geografis dengan
temperatur serta kelembaban yang cocok untuk berkembangnya cacing dengan baik
(Kadarsan,2005).
Penyakit kecacingan adalah penyakit yang
disebabkan oleh karena masuknya parasit (berupa cacing) ke dalam tubuh manusia.
Jenis cacing yang sering ditemukan menimbulkan infeksi adalah cacing gelang (Ascaris
lumbricoides), cacing cambuk (Trichuris trichiura) dan cacing
tambang (Necator americanus) yang ditularkan melalui tanah (Soil
Transmitted Helminthiasis).
Penyakit kecacingan masih merupakan
salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Infeksi cacing dapat
ditemukan pada berbagai golongan umur, namun prevalensi tertinggi ditemukan
pada anak balita dan usia SD. Dari penelitian didapatkan prevalensi penyakit
cacingan sebesar 60–70%. Penelitian di beberapa kota besar di Indonesia
menunjukkan, kasus infeksi cacing gelang (Ascaris lumbricoides) sekitar
25–35% dan cacing cambuk (Trichuris trichiura) 65–75%. Risiko tertinggi
terutama kelompok anak yang mempunyai kebiasaan defekasi di saluran air terbuka
dan sekitar rumah, makan tanpa cuci tangan, dan bermain - main di tanah yang
tercemar telur cacing tanpa alas kaki (Rusmanto, 2012).
Dalam identifikasi infeksi penyakit cacing perlu adanya
pemeriksaan, baik dalam keadaan cacing yang masih hidup ataupun yang telah
dipulas. Cacing yang akan diperiksa tergantung dari jenis parasitnya. Untuk
cacing atau protozoa usus akan dilakukan pemeriksaan melalui feses atau tinja
(Kadarsan,2005).
Pemeriksaan feses di maksudkan untuk mengetahui ada tidaknya
telur cacing ataupun larva yang infektif. Pemeriksaan feses ini juga di
maksudkan untuk mendiagnosa tingkat infeksi cacing parasit usus pada orang yang
di periksa fesesnya. Prinsip dasar untuk diagnosis infeksi parasit adalah
riwayat yang cermat dari pasien. Teknik diagnostik merupakan salah satu aspek
yang penting untuk mengetahui adanya infeksi penyakit cacing, yang dapat
ditegakkan dengan cara melacak dan mengenal stadium parasit yang ditemukan.
Sebagian besar infeksi dengan parasit berlangsung tanpa gejala atau menimbulkan gejala ringan.
Oleh sebab itu pemeriksaan laboratorium sangat dibutuhkan karena diagnosis yang
hanya berdasarkan pada gejala klinik kurang dapat dipastikan (Gandahusada,
2000).
2.
Tujuan
Tujuan dari praktikum ini adalah
sebagai berikut:
a. Mengetahui pemeriksaan feses dengan
metode apung (dengan dan tanpa disentrifugasi) serta metode modifikasi Harada
Mori
b. Mengetahi adanya telur dan larva
cacing parasit dalam sempel feses
c. Mendiagnosa infeksi cacing parasit
dalam tubuh orang yang diperiksa fesesnya
B.
METODE
1.
Metode Pemeriksaan
Metode pemeriksaan feses pada praktikum ini adalah dengan
menggunakan dua metode, yaitu metode apung baik secara disentrifugal maupun
tanpa disentrifugal dan metode harada mori.
2.
Alat dan Bahan
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan tinja
menggunakan metode apung dengan disentrifugasi adalah:
a. Mikroskop
b. Objek glass
c. Cover glass
d. Beker glass
e. Lidi
f. Penyaring teh
g. Jarum ose
h. Tabung disentrifugasi
i. Sentrifugator
j. 10 gram tinja
k. 200 ml larutan NaCl jenuh (33%)
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan tinja
menggunakan metode apung tanpa disentrifugasi adalah:
a. Mikroskop
b. Objek glass
c. Cover glass
d. Beker glass
e. Tabung reaksi
f. Rak tabung reaksi
g. Lidi
h. Penyaring teh
i. Jarum ose
j. 10 gram tinja
k. 200 ml larutan NaCl jenuh (33%)
Alat dan bahan yang digunakan dalam pemeriksaan tinja
menggunakan metode Harada Mori adalah:
a. Kantung plastic ukuran 30x200 mm
b. Kertas saring ukuran 3x15 cm
c. Lidi
d. Pipet ukur dan filler
e. Pipet tetes
f. Aquadest
g. Penjepit dan tempat menggantung
plastik
h. Label
3.
Cara Kerja
a. Metode apung dengan disentrifugasi
1) 200 ml NaCl jenuh (33%) dimasukan ke
dalam beker glass
2) 10 gram feses sampel diambil
menggunakan lidi dan dimasukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian
diaduk sampai larut
3) Feses yang sudah larut kemudian
disaring menggunakan penyaring teh
4) Larutan yang sudah disaring kemudian
dituangkan ke dalam tabung disentrifugasi sebanyak ¾ bagian dan dimasukan ke
sentrifugator selama 5 menit
5) Permukaan
sampel pada tabung sentrifugasi diambil dengan
menggunakan jarum ose dan di oleskan pada objek glass, kemudian di tutup dengan
menggunakan cover glass.
6) Diamati dibawah mikroskop
b. Metode apung tanpa disentrifugasi
1) 200 ml NaCl jenuh(33%) dimasukkan ke
dalam beker glass
2) 10 gram feses sampel diambil
menggunakan lidi dan dimasukan ke dalam larutan NaCl jenuh (33%) kemudian
diaduk sampai larut
3) Feses yang sudah larut kemudian
disaring menggunakan penyaring teh
4) Hasil saringan dituangkan ke dalam
tabung reaksi sampai cembung pada bagian permukaan tabung reaksi
5) Diamkan selama 5-10 menit kemudian
ditutup dengan cover glass dan segera diangkat
6) Cover glass diletakan diatas objek
glass dengan cairan berada diantara objek glass dan cover glass
7) Diamati di bawah mikroskop
c. Metode Harada Mori
1) Kantung plastik diisi aquades
sebanyak 5ml dengan menggunakan pipet ukur dan filler
2) Dengan menggunakan lidi feses
dioleskan pada kertas saringan sampai mengisi sepertiga bagian tengahnya
3) Kertas saringan dilipat membujur,
kemudian kertaas saring di masukan ke dalam kantung plastik yang sudah berisi
aquades dengan posisi ujung kertas menyentuh permukaan aquades dan tinja sampai
tercelup aquades
4) Nama penderita, tanggal penamaan,
dan kelompok pengamat ditulis kemudian ditempel di plastik
5) Plastik digantung dan disimpan
selama 7 hari
6) Setelah 7 hari digantung,
plastik dimiringkan dan digunting ujungnya kemudian air dalam plastik di
tuang ke beaker glass
7) Air dalam beaker glass diambil
menggunakan pipet tetes kemudian 1-3 tetes air diteteskan ke atas objek glass
8) Cover glass diletakkan di atas objek glass
9) Diamati di bawah mikroskop
C.
HASIL
1.
Metode Apung
Pemeriksaan sampel feses dari anak
kelas 3 SD Negeri 2 Karangwangkal, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data
tertertera di bawah ini:
nama : Farah Nurahma
umur : 9 tahun
alamat : Karangwangkal RT 2 RW 2
Tabel 1
Metode
|
Hasil
Pengamatan
|
||
Nama Cacing
|
Telur (+/-)
|
Cacing
(+/-) |
|
Apung dengan sentrifugasi
|
Ascaris lumbricoides
|
-
|
-
|
Trichuris trichiura
|
-
|
-
|
|
Cacing tambang
|
-
|
-
|
|
Strongyloides stercoralis
|
-
|
-
|
|
Apung tanpa sentrifugasi
|
Ascaris lumbricoides
|
-
|
-
|
Trichuris trichiura
|
-
|
-
|
|
Cacing tambang
|
-
|
+
|
|
Strongyloides stercoralis
|
-
|
-
|
Gambar
|
Pengamatan
|
Gambar 1.1
|
Hasil negative pada pemeriksaan dengan menggunakan metode
apung dengan sentrifugasi
|
Gambar 1.2
|
Hasil positif dengan metode apung tanpa sentrifugasi yang
diduga merupakan cacing tambang.
|
Dari percobaan yang telah dilakukan dengan
menggunakan metode apung seperti
pada tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan tidak ditemukan
telur cacing seperti Ascaris
lumbricoides,
Trichuris
trichiura,
Cacing tambang, dan Strongyloides
stercoralis. Namun hasil pemeriksaan ditemukan cacing tambang
yang diduga dari spesies Necator americanus, karena dilihat dari bursa
kopulatriks dimana tiga rusuk lateral pada cacing jantan yang 2 buah saling
berdekatan dan yang satu terpisah.
2.
Metode Harada Mori
Pemeriksaan sampel feses dari anak kelas 3 SD Negeri 2
Karangwangkal, Purwokerto Utara, Banyumas dengan data tertertera di bawah ini:
nama : Farah Nurahma
umur : 9 tahun
alamat : Karangwangkal RT 2 RW 2
Tabel 2
Metode
|
Hasil
Pengamatan
|
|
Nama Cacing
|
Larva
(+/-) |
|
Harada Mori
|
Trichuris trichiura
|
-
|
Cacing
tambang
|
-
|
|
Strongyloides stercoralis
|
-
|
Gambar
|
Pengamatan
|
Gambar 2.1
|
Hasil pemeriksaan menunjukan negatif dengan metode harada
mori. Tidak ditemukan larva baik itu rabdhitiform maupun filariform.
|
Dari percobaan yang telah dilakukan dengan
menggunakan metode harada
mori seperti pada
tabel diatas, dapat diketahui bahwa hasil pemeriksaan tidak ditemukan larva cacing seperti Trichuris
trichiura,
Cacing tambang, dan Strongyloides
stercoralis.
D.
PEMBAHASAN
Metode yang
digunakan dalam pemeriksaan tinja adalah metode apung dan metode harada mori.
Prinsip kerja metode apung berdasarkan berat jenis telur-telur yang lebih
ringan daripada berat jenis larutan yang digunakan sehingga telur terapung
dipermukaan, dan juga untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang
terdapat dalam tinja. Pemeriksaan metode apung menggunakan larutan garam jenuh
direkomendasikan untuk pendeteksian telur Ancylostoma duodenale dan Necator
americanus (metode terbaik), Ascaris lumbricoides, Hymenolepis nana,
Taenia spp., dan Trichuris trichiura.Metode apung tidak sesuai
digunakan untuk mendeteksi trematoda dan Schistosoma spp (Maharani,
2011).
Metode harada
mori adalah uji yang digunakan untuk mendeteksi infeksi cacing tambang, Strongyloides stercoralis, Trichostrongylus
spp. Prinsip kerja metode harada mori adalah dengan mengoleskan feses pada
sepertiga bagian dalam kertas saringan kemudian dimasukkan kedalam tabung
kerucut sentrifugal yang berisi air sampai menyentuh ujung kertas saringan.
Tabung kerucut sentrifugal disimpan pada suhu kamar selama waktu perkembangan
larva dan jatuh dalam air pada 7 sampai 10 hari (Paniker, 2013).
Kelebihan metode
apung dengan sentrifugasi adalah dapat digunakan untuk infeksi ringan dan
berat, kotoran feses yang melekat pada telur dapat terlepas dengan adanya proses
sentrifugasi sehingga dapat terlihat jelas. Sedangkan kekurangan metode apung
dengan sentrifugasi adalah membutuhkan waktu yang lama dan membutuhkan
ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun lagi.
Kelebihan metode
apung tanpa sentrifugasi adalah dapat digunakan untuk infeksi ringan dan berat,
telur dapat terlihat dengan jelas. Sedangkan kekurangan metode apung tanpa
sentrifugasi adalah menggunakan banyak feses, membutuhkan waktu yang lama, dan
membutuhkaan ketelitian tinggi agar telur di permukaan larutan tidak turun
lagi.
Kelebihan metode
harada mori adalah memiliki sifat sensitive, sederhana, ekonomis, dan mudah
dalam melakukannya (shahid, 2010). Sedangkan kekurangannya adalah larva yang hidup dapat menyebabkan pathogen,
larva dapat menyebabkan infeksi sehingga harus dilakukan dengan hati-hati
(Sehgal, 2003).
Pada pemeriksaan feses ini,
kemungkinan yang dapat ditemukan adalah telur Ascaris lumbricoides, telur Trichiuris trichiura, telur
cacing tambang, dan larva rhabditiform Strongyloides stercoralis serta dapat juga ditemukan cacing dewasa.
Ascaris lumbricoides memiliki
empat bentuk telur, yaitu tipe dibuahi (fertilized), tidak dibuahi (afertilized),
matang, dan dekortikasi. Telur yang dibuahi besarnya 60 x 45 mikron,
dinding tebal terdiri dari dua lapis. Lapisan luarnya terdiri dari jaringan
albuminoid, sedangkan lapisan dalam jernih. Isi telur berupa massa sel telur.
Telur yang tidak dibuahi berbentuk lonjong dan lebih panjang daripada tipe yang
dibuahi, besarnya 90 x 40 mikron, dan dinding luarnya lebih tipis. Isi telur
adalah massa granula refraktil. Telur matang berisi larva (embrio), tipe ini
menjadi infelatif setelah berada di tanah kurang lebih 3 minggu. Telur yang
dekortikasi tidak dibuahi tetapi lapisan luarnya (albuminoid) sudah hilang
(Onggowaluyo, 2002). Ciri-ciri telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat
pada pengamatan feses Farah, sehingga Farah dinyatakan tidak terinfeksi
parasit Ascaris lumbricoides.
Telur Trichuris trichiura berukuran 50x25 µ,
berbentuk mirip tempayan kayu atau biji melon, berwarna cokelat, dan memiliki 2
kutub jernih yang menonjol (Soedarto,2011). Ciri-ciri telur yang telah
disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah, sehingga Farah
dinyatakan tidak terinfeksi parasit Trichuris trichiura.
Morfologi telur antar cacing tambang sulit dibedakan. Telur
cacing tambang berbentuk lonjong, dengan ukuran sekitar 64x40 µ. Telur tidak
berwarna dan berdinding tipis yang tembus sinar. (Soedarto 2011). Ciri-ciri
telur yang telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah,
sehingga Farah dinyatakan tidak terinfeksi parasit cacing tambang.
Cacing dewasa cacing tambang berbentuk silindris. Ukuran
cacing betina 9-13 mm dan cacing jantan 5-10 mm. bentuk Necator americanus seperti huruf S, sedangkan Ancylostoma duodenale seperti huruf C. rongga mulut kedua spesies
cacing ini lebar dan terbuka. Pada Necator
americanus mulut dilengkapi gigi kitin, sedangkan pada Ancylostoma duodenale dilengkapi dua pasang gigi berbentuk lancip.
Kedua cacing ini, yang jantan ujung ekornya mempunyai bursa kopulatriks,
sedangkan yang betina ujung ekornya lurus lancip. Kedua spesies cacing dewasa
ini secara morfologis mempunyai perbedaan yang nyata (terutama bentuk tubuh,
rongga mulut, dan bursa kopulatriksnya) (Onggowaluyo, 2002). Necator americanus memiliki tiga rusuk lateral pada bursa
cacing jantan yang 2 buah saling berdekatan dan satu terpisah. Ancylostoma duodenale memiliki tiga
rusuk lateral pada bursa cacing jantan saling terpisah satu sama lain
(Poernomo, 2005). Ciri cacing dewasa yang disebutkan diatas terdapat pada
pengamatan feses Farah, yaitu spesies Necator
americanus karena memiliki tiga rusuk lateral pada bursa cacing jantan dimana
2 buah saling berdekatan dan satu terpisah. Sehingga Farah dinyatakan
terinfeksi parasit cacing tambang.
Dilihat dari
table hasil pemeriksaan feses Farah menggunakan metode apung dengan
sentrifugasi tidak ditemukan telur, dan cacing dewasa, hasilnya adalah
negative, namun pada pemeriksaan metode apung tanpa sentrifugasi ditemukan
cacing dewasa. Diduga cacing yang ditemukan merupakan cacing tambang spesies Necator americanus. Dilihat dari bursa
kopulatriks dimana tiga rusuk lateral pada cacing jantan yang 2 buah saling
berdekatan dan yang satu terpisah. Terjadi perbedaan hasil antara metode apung
dengan menggunakan sentrifugasi dan tanpa sentrifugasi. Perbedaan terjadi
karena pemeriksaan metode apung dengan sentrifugasi, ketika melakukan ulasan
pada objek glass menggunakan jarum ose, kemungkinan telur atau cacing dewasa
tidak melekat pada jarum ose kemudian ketika di ulaskan pada objek glass dan
diamati menggunakan mikroskop tidak ditemukan telur atau cacinf dewasa.
Sedangkan pada metode apung tanpa sentrifugasi kemungkinan telur atau cacing
dewasa menempel pada objek glas lebih besar. Karena metode apung tanpa
sentrifugasi menggunakan tabung reaksi kemudian diisi sampai cembung
permukaannya. Sehingga kemungkinan telur dan cacing dewasa ditemukan lebih
besar.
Berdasarkan kuesioner yang telah
dipertanyakan dapat diketahui responden dalam kegiatan seharinya tidak memakai
alas kaki saat bermain diluar rumah, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah
makan, tidak menyukai sayuran, tidak mencuci tangan setelah buang air besar,
tidak rutin dalam minum obat cacing, tidak membersihkan diri setelah selesai
bermain, tidak mengambil makanan yang sudah jatuh, senang bermain tanah, dan
merasa gatal di daerah dubur. Sedangkan fasilitas yang dimiliki responden
antara lain memiliki WC di rumah, tidak terdapat hewan ternak, tersedia sabun
cuci tangan, lantai terbuat dari keramik, dan tersedia air bersih.
Kesimpulan yang diambil dengan
mempertimbangkan kuesioner bahwa Farah positif terinfeksi penyakit cacing.
Metode apung tanpa sentrifugasi menemukan cacing tambang yang diduga Necator
americanus karena kebiasaan responden yang tidak memakai alas kaki saat
bermain di luar rumah, tidak mencuci tangan sebelum dan sesudah makan, suka
bermain tanah, dan tidak membersihkan diri setelah bermain. Meskipun pada
metode harada mori tidak ditemukan larva cacing tambang. Hal ini dapat
disebabkan oleh banyak factor, salah satunya adalah pada metode harada mori
pengolesan feses pada kertas saringan terlalu jauh, atau kertas saringan yang
tidak menempel pada air, sehingga larva mati. Infeksi cacing Necator americanus
dapat terjadi bila larva filariform menembus kulit (Sutanto, 2008).
Telur cacing Strongyloides stercoralis berukuran 55 x
30 µ, berbentuk lonjong mirip cacing tambang, mempunyai dinding tipis dan
transparan. Telur diletakkan di dalam mucosa usus, kemudian menetas menjadi
larva rabditiform, sehingga tidak ditemukan telur dalam tinja. Larva
rhabditiform mempunyai ukuran 200 – 250µ, memiliki esophagus dan bulbus
esophagus yang mengisi ¼ bagian anterior (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang
telah disebutkan di atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah, sehingga
Farah dinyatakan tidak terinfeksi parasit Strongyloides stercoralis.
Dilihat dari tabel
hasil 2 di atas, pemeriksaan feses Farah menggunakan metode Harada Mori tidak
ditemukan larva parasit dalam praktikum ini. Berarti, Farah diduga tidak
terinfeksi parasit cacing tambang.
Hasil negative pada metode Harada Mori yang dilaksanakan dapat
disebabkan
oleh kesalahan dalam melakukan cara kerja, diduga kertas saringan tidak
menempel pada air sehingga larva tidak turun dan tidak dapat ditemukan
menggunakan mikroskop.
Harada Mori merupakan metode yang paling efektif untuk
mendeteksi cacing tambang. Terbukti bahwa metode Harada Mori memiliki
ketelitian lebih dibandingkan dengan metode pemeriksaan tinja yang lain dalam
mendeteksi cacing tambang. Jika dilakukan dengan benar, metode ini sensitif,
sederhana, ekonomis dan mudah dilakukan (Shahid, 2010).
Manusia merupakan hospes satu-satunya bagi cacing tambang.
Telur cacing tambang spesies Necator americanus dan Ancylostoma
duodenale sulit dibedakan satu dengan yang lain, perbedaan hanya sedikit
dalam hal ukurannya, yaitu Necator americanus berukuran 64 x 36 µ,
sedangkan Ancylostoma duodenale berukuran 56 x 36 µ. Telur ini keluar
bersama feses penderita, setelah 1-2 hari akan menetas menjadi larva
rabditiform. Setelah mengalami pergantian kulit 2 kali, larva rabditiform
berubah menjadi larva filariform (Shahid, 2010).
Larva filariform cacaing tambang adalah larva infektif untuk
manusia. Larva ini berukuran 500 – 700 µ, tidak mempunyai rongga mulut
dan bulbus esophagus (Soedarto, 2011). Ciri-ciri larva yang telah disebutkan di
atas tidak terdapat pada pengamatan feses Farah dengan metode harada mori
sehingga Farah diduga tidakterinfeksi parasit cacing tambang.
E.
KESIMPULAN
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, maka dapat di simpulkan
sebagai berikut:
1. Prinsip kerja metode apung dengan
dan tanpa sentrifugasi adalah dengan menggunakan berat jenis telur. Dimana
larutan jenuh memiliki berat jenis yang lebih tinggi sehingga menyebabkan telur
cacing terapung
2. Prinsip kerja metode harada mori
adalah dengan menggunakan kertas saringan yang dimasukan kedalam aquades dengan
kurun waktu 7 sampai 10 hari
3. Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode apung dengan disentrifugasi adalah
negatif, yang artinya bahwa tidak ditemukan telur dalam feses yang
telah di periksa sehingga diduga pasien tidak terinfeksi cacing
4. Hasil yang didapat dari pemeriksaan
metotode apung tanpa disentrifugasi adalah positif, yang artinya ditemukan
cacing dewasa dalam feses yang telah diperiksa, sehingga diduga pasien
terinfeksi cacing
5. Hasil yang didapat dari pemeriksaan metode Harada
mori
adalah negative, yang artinya bahwa tidak ditemukan larva dalam tinja yang telah di periksa sehingga pasien diduga tidak
terinfeksi cacing tambang
6. Farah siswi kelas III SD N 2
Karangwangkal didiagnosis terinfeksi cacing tambang, meskipun pada pemeriksaan
harada mori tidak ditemukan larva yang dapat disebabkan karena mengoles tinja
yang terlalu jauh sehingga menyebabkan larva mati. Kuesioner yang di tanyakan
kepada responden menyatakan kemungkinan positif terinfeksi penyakit kecacingan
sangat besar.
DAFTAR PUSTAKA
Gandahusada,
S.W. Pribadi dan D.I. Herry. 2000. Parasitologi Kedokteran. Jakarta: Fakultas
Kedokteran UI.
Kadarsan,S. 2005. Binatang Parasit. Bogor:
Lembaga Biologi Nasional-LIPI.
Maharani,
Anggitha Putri, Liena Sofiana. 2011. Validitas Metode Apung Pemeriksaan
Kecacingan pada Anak Sekolah Dasar. Journal.
Onggowaluyo, Jangkung
Samidjo. 2002. Parasitologi Medik I
Helmintologi Pendekatan Aspek Identifikasi, Diagnosis, dan Klinik. Jakarta:
Penerbit Buku EGC.
Paniker,
CK Jayaram, Sougata Ghosh. 2013. Paniker’s
Textbookof Medical Parasitology. Nepal: Jaypee Brother Medical Publishers.
Poernomo, J Gunawan,
Magdalena, dkk. 2005. Atlas Helmintologi
Kedokteran. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Rusmanto,
Dwi, J Mukono. 2012. Hubungan Personal Higyene Siswa Sekolah Dasar dengan
Kejadian Kecacingan. The Indonesian
Journal of Publick Health. Vol. 8: 105-111.
Sehgal, Rakesh. 2003. Practicals and Viva in Medical Parasitology.
New Delhi: Elsevier.
Sutanto, Inge, Is Suhariah, Pudji K sjarifudin, saleha sungkar.
2008. Parasitologi Kedokteran Edisi
Keempat. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
Shahid, SB, Wazib A,
Chowdhury A, Shamsuzzaman SM, Mamun KZ. 2010. Identification of Hookworm
Species in Stool By Harada Mori Culture. Bangladesh
Jurnal Medica Microbiologists. Vol. 4: 3-4.
Soedarto, 2011. Buku Ajar Parasitologi
Kedokteran. Jakarta: CV Agung Seto.
I think you've lost ur brain.
BalasHapusTerimaksih untuk blognya. sungguh bermanfaat.
BalasHapus